Tak banyak cerita yang selama ini terungkap tentang bendera pusaka. Sebagian besar orang bilang kalau bendera berukuran 2x3 meter itu dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati. Tapi, dalam sebuah pameran foto yang diselenggarakan oleh keluarga Bung Karno, diperlihatkan kalau Ibu Fat menjahit bendera itu dengan sebuah mesin jahit.
Entah mana yang benar, yang pasti bendera hasil jahitan Ibu Fat itulah yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Cerita tentang sebelum bendera itu dijahit, hampir tidak pernah diketahui orang.
Tetapi nanti dulu… Ini ada kisah dari penuturan pelakunya sendiri tentang dari mana Ibu Fat mendapatkan kain untuk membuat bendera pusaka.
Pada 1944, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih sudah diizinkan untuk dikibarkan dan lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan di seluruh Nusantara. Ibu Fat, istri Bung Karno “Sang Proklamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.
Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang. Kalaupun ada di black market (pasar gelap), untuk mendapatkannya harus diam-diam.
Ibu Fat kemudian memanggil seorang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda dimintanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A.
Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lainnya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan kekuasaan. Shimizu rajin mendengarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih dianggap ”teman” oleh dan mudah diterima di berbagai kalangan, apalagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah.
Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Cerita itu terasa amat sepele dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu.
Tahun 1977, Shimizu berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang sekarang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.
Kenyataan ini begitu membanggakan buat Chaerul maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu besar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini.
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978Tetapi nanti dulu… Ini ada kisah dari penuturan pelakunya sendiri tentang dari mana Ibu Fat mendapatkan kain untuk membuat bendera pusaka.
Pada 1944, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih sudah diizinkan untuk dikibarkan dan lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan di seluruh Nusantara. Ibu Fat, istri Bung Karno “Sang Proklamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.
Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang. Kalaupun ada di black market (pasar gelap), untuk mendapatkannya harus diam-diam.
Ibu Fat kemudian memanggil seorang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda dimintanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A.
Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lainnya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan kekuasaan. Shimizu rajin mendengarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih dianggap ”teman” oleh dan mudah diterima di berbagai kalangan, apalagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah.
Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Cerita itu terasa amat sepele dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu.
Tahun 1977, Shimizu berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang sekarang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.
Kenyataan ini begitu membanggakan buat Chaerul maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu besar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini.
Sumber : www.paskibrasmkn2kuripan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar